Kesaksian Prajurit Israel: Trauma Perang Gaza Menghantui

Kesaksian prajurit Israel yang terlibat dalam perang di Jalur Gaza mengungkap trauma psikologis mendalam. Mereka menggambarkan horor kematian, tekanan mental, dan bayang-bayang perang yang menghantui hidup mereka.

Kesaksian Prajurit Israel: Trauma Perang Gaza Menghantui
Kendaraan lapis baja milik tentara Israel terlihat sebagai bagian dari mobilitas dan serangan militer yang terus berlanjut di dekat garis perbatasan Jalur Gaza pada tanggal 29 Juni 2025 di Israel. [Tsafrir Abayov – Anadolu Agency]

TOPIKPUBLIK.COM – TIMUR TENGAH – Kesaksian memilukan dari lima prajurit Israel yang bertugas dalam operasi militer di Jalur Gaza membuka tabir sisi lain dari perang yang selama ini diselimuti propaganda dan citra heroik. Mereka berbicara jujur tentang trauma mendalam, tekanan psikologis, dan bayang-bayang kematian yang terus menghantui, sebuah realitas yang bertolak belakang dari narasi resmi militer Israel yang mengedepankan ketegasan dan keberanian.

Dalam laporan investigatif yang dipublikasikan oleh surat kabar Haaretz, pengakuan kelam para tentara ini memotret betapa perang bukan hanya soal strategi militer dan kemenangan di medan tempur, melainkan juga tentang kehancuran batin manusia yang mengalaminya secara langsung.

“Saya Melihat Tulang Anak-anak” – Jeritan Sunyi dari Khan Younis

Salah satu dari lima prajurit tersebut adalah Or, seorang tentara pengintai berusia 20 tahun dari pasukan parasut Israel. Ia membagikan kisah horor yang ia alami saat terlibat dalam operasi di kawasan Khan Younis, Gaza Selatan—wilayah yang sebelumnya diluluhlantakkan oleh serangan udara IDF (Israel Defense Forces).

“Di antara reruntuhan rumah yang hancur — dinding yang tak lagi utuh — kami menemukan lima, mungkin enam jasad. Lalat mengerumuni, dan sepertinya anjing-anjing telah mencabik tubuh mereka. Hampir tidak ada yang tersisa,” ungkap Or dengan nada terguncang.

Ia menambahkan, “Dua dari jasad itu adalah anak-anak kecil. Saya bisa melihat tulang belulang mereka. Gambaran itu terlalu mengerikan untuk dilupakan. Hingga kini, bayangannya masih menghantui saya setiap malam.”

Aroma Maut yang Tak Hilang: Luka Batin yang Tak Tersembuhkan

Tak hanya visual kematian yang membekas dalam ingatannya. Or juga mengisahkan tentang aroma busuk kematian yang terus menempel pada tubuh dan pakaian, meski ia berusaha menutupinya dengan deodoran.

“Saya masih mengingat bau itu. Seolah-olah menyatu dengan tubuh saya, meresap ke dalam serat pakaian. Saya menyemprotkan pewangi tubuh berulang kali malam itu, tapi aroma kematian itu tidak pernah benar-benar pergi,” ujarnya lirih.

Beberapa hari kemudian, ia kembali dikerahkan ke zona tempur tanpa kepastian waktu kembali. Ketakutan itu kian memuncak.

“Kami memuat perlengkapan ke Humvee. Saat itu saya benar-benar ingin melompat keluar, ingin kabur. Tapi saya tidak punya keberanian untuk melakukannya,” katanya, menggambarkan dilema batin seorang prajurit muda yang terjebak antara perintah dan naluri bertahan hidup.

Mimpi Buruk yang Nyata: Ledakan, Panas, dan Keringat yang Membatu

Or juga menceritakan kondisi ekstrem yang ia alami selama penempatan ulang, di mana panas ekstrem dan tekanan mental menciptakan situasi seperti neraka di dunia nyata.

“Seminggu lagi kami hidup bersama ledakan-ledakan. Seminggu lagi dengan kaus kaki yang menempel pada kulit karena keringat. Panasnya tidak bisa saya gambarkan. Ini bukan hidup — ini mimpi buruk yang saya jalani dalam keadaan sadar. Saya hanya ingin semuanya segera berakhir. Tolong, cukup,” ungkapnya, menyiratkan keputusasaan.

Citra Militer Israel Dipertanyakan: Di Balik Uniform Ada Luka Jiwa

Kesaksian-kesaksian ini meruntuhkan narasi militer Israel yang selama ini dibangun sebagai kekuatan yang profesional, siap tempur, dan tidak goyah. Di balik seragam dan senjata, terdapat anak-anak muda yang jiwanya terguncang dan mentalnya terpecah oleh realitas perang yang brutal.

Tekanan psikologis tentara Israel di Gaza bukanlah hal remeh. Mereka hidup dalam ketegangan terus-menerus, menyaksikan kematian setiap hari, dan menghadapi dilema moral yang mengguncang hati nurani. Perang di Jalur Gaza tak hanya menyisakan kehancuran fisik bagi rakyat Palestina, tetapi juga luka jiwa yang mendalam bagi prajurit yang dikirim untuk menjalankannya.